top of page

Sosok Indah yang Dipanggil Pulang

Ama. Sosok yang selalu berada di sampingku dan adikku semenjak kami kecil. Tidak pernah sekalipun ia melewati hari tanpa membuatkan masakan-masakan penuh rasa, masakan yang masih sangat kurindukan hingga saat ini.

Ia juga yang selalu ada disaat aku bertengkar dengan adikku untuk melerai, atau membelaku disaat ayah memarahiku, menjadi tempat perlindunganku satu-satunya.

Ia bukanlah merupakan seorang perempuan yang sempurna, tapi yang kutahu hanya satu. Ama tulus menyayangiku sepenuhnya.

Memasuki tahun 2017, untuk pertama kalinya ama jatuh sakit, sangat parah. Ama dirawat di ICU selama kurang lebih satu minggu. Meskipun beberapa minggu kemudian ama dinyatakan pulih dan diperbolehkan pulang, kondisinya tidak pernah benar-benar pulih. Ama yang dulunya selalu bersemangat mulai kehilangan semangatnya. Ama jadi lebih sering jatuh sakit.

Kondisinya terus menurun dengan drastis seiring waktu. Hingga pada awal tahun 2019, ama perlahan kehilangan kemampuannya untuk berjalan. Ada masalah pada tulang belakangnya. Pada awalnya ama masih bisa berdiri, berjalan sebentar dan duduk. Namun kelamaan ama menolak untuk bangun dan hanya menjalani hari di tempat tidurnya. Saat itulah kami tahu bahwa waktunya mungkin sudah tidak lama lagi.

21 November 2019, ama dipanggil pulang, memejamkan matanya untuk waktu yang sangat lama. Aku pertama mengetahuinya dari adikku. Pukul 6.17 pagi waktu Korea, aku membaca pesan darinya. Padahal beberapa hari sebelumnya ama masih meminta ku untuk meneleponnya.

Aku berangkat menuju Indonesia keesokan harinya pagi-pagi buta dan aku tiba di rumah duka hanya untuk melihat ama terbaring di peti. Sosok yang di ingatanku selama ini selalu kuat kini terbaring di sana. Ama cantik. Seolah masih bisa membuka matanya jika kupanggil.

Selama ama hidup, aku tidak pernah berlaku baik pada ama. Aku membantahnya, berkata kasar padanya, hanya karena ama bawel. Aku tahu bahwa tidakanku tidak benar dan selalu melukai hatinya. Namun entah kenapa aku tidak pernah bisa atau mau berubah.

Saat aku mulai beranjak dewasa barulah aku perlahan mengerti dan mulai merubah sikapku terhadap ama. Aku tak lagi membentak ama ataupun melawannya. Tak jarang pula aku menyisakan waktu untuk berbincang dengannya melalui video call.

Setelah ama meninggal, hanya penyesalan yang tersisa. Seharusnya aku lebih menghabiskan waktu dengan ama disaat ia masih hidup. Namun sekarang ama sudah tiada. Tidak ada yang bisa memutarkan waktu. Yang terlewat tetaplah terlewat, tidak bisa dikembalikan. Dan penyesalan memang selalu datang terlambat.

bottom of page